JAWARANEWS. COM - Deli Serdang // Sengketa lahan antara 49 warga Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, dengan PT Perkebunan Nusantara I Regional 1 (d/h PTPN II), kini memasuki fase paling menentukan. Namun, ketegangan justru memuncak setelah putusan yang ditunggu-tunggu tak kunjung dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, bahkan setelah lebih dari tiga minggu sejak sidang kesimpulan digelar.
Salah satu penggugat, Bernard S., menyuarakan kekecewaannya. Ia mempertanyakan dasar klaim PTPN atas lahan seluas 14 hektare tersebut yang sejak awal tidak pernah dapat dibuktikan secara faktual di persidangan.
“Bagaimana mungkin lahan itu diklaim sebagai milik PTPN, sementara berulang kali kami minta ditunjukkan titik koordinatnya, tapi tak pernah bisa ditunjukkan. Selalu hanya disebut - sebut secara verbal oleh pihak BPN sebagai HGU, namun tidak pernah bisa ditunjukkan. Kalau jelas itu kordinatnya HGU PTPN, kenapa sidang sebelumnya tidak memenangkan PTPN ? atau kenapa gugatan kami tidak dikabulkan?" ujar Bernard.
Bernard menyebut sejumlah fakta yang memperkuat posisi warga sebagai pihak yang sah atas lahan tersebut. Di antaranya:
1.Tidak adanya patok batas HGU sebagaimana lazimnya lahan dengan status Hak Guna Usaha.
2.Tidak ada peta bidang yang secara spesifik menyatakan bahwa objek perkara termasuk dalam HGU No. 90.
3.Pendirian rumah warga sejak 2002, aktivitas penimbunan dan pembangunan jalan yang berlangsung lebih dari enam tahun, serta iklan penjualan lahan yang dilakukan secara terbuka sejak awal 2000-an tanpa adanya protes dari pihak PTPN.
4.Adanya pagar beton mengelilingi kantor distrik yang berbatasan langsung dengan lahan objek perkara menunjukkan bahwa lokasi lahan memang bukan HGU, seharusnya tidak perlu dipagari beton
5.Surat-surat kepemilikan warga yang telah disahkan melalui akta notaris, menunjukkan legitimasi hukum yang jelas.
Lebih lanjut, Bernard mengungkap bahwa mantan Manajer PTPN II sendiri pernah menyatakan secara langsung bahwa objek sengketa tersebut tidak masuk dalam HGU PTPN. Ini menjadi fakta penting yang menurut para penggugat, mengungkap adanya dugaan manipulasi administratif dan kesewenang-wenangan dalam proses klaim lahan oleh pihak perusahaan.
Ironisnya, PTPN baru mulai melakukan okupasi terhadap lahan tersebut pada tahun 2018. Bahkan tindakan mereka dinilai arogan tanpa ada pemberitahuan sebelumnya—termasuk penanaman tebu di lokasi lahan yang dinilai sebagai bentuk penempatan simbolis kepemilikan tanpa proses hukum yang sah. Penyerobotan lahan itu bahkan menyasar alamat yang salah: somasi yang pernah dilayangkan tersebut sebagai wilayah Pasar 9, padahal objek perkara berada di Pasar 7.
Kuasa Hukum Warga akan menyurati Majelis Hakim
Kuasa hukum ke-49 penggugat, Andi Ardianto, S.H., menegaskan bahwa saat ini pihaknya tengah menyusun surat resmi kepada Ketua Majelis Hakim PN Lubuk Pakam guna mempertanyakan alasan keterlambatan pembacaan putusan.
“Kami sudah menunggu lebih dari tiga minggu. Ini bukan waktu yang sebentar untuk sebuah putusan yang sudah melewati seluruh rangkaian pembuktian. Kami ingin tahu kenapa hingga kini belum diputus,” ujar Andi.
Menurutnya, semua bukti, keterangan saksi, hingga fakta lapangan telah disampaikan secara utuh dalam proses persidangan. Andi berharap majelis hakim bisa memutus perkara ini dengan mempertimbangkan fakta dan keadilan substantif, bukan semata-mata formalitas administratif.
Harapan Rakyat, Ujian Bagi Keadilan
Sengketa ini telah menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap dominasi korporasi perkebunan besar. Dukungan masyarakat, aktivis agraria, hingga akademisi terus mengalir agar perkara ini bisa menjadi preseden penting dalam penataan ulang konflik agraria di Sumatera Utara.
“Ini bukan hanya soal lahan, tapi soal martabat dan keadilan. Kami bukan penyerobot. Kami telah merawat tanah ini selama puluhan tahun. Sekarang kami hanya menuntut pengakuan yang sah dari negara melalui pengadilan,” pungkas Bernard. ( ISN Hasibuan )