JAWARANEWS. COM - Ilmuwan muda asal Sumatera Utara (Sumut) Muhammad Ja’far Hasibuan Juara Dunia Penemu, Ilmuwan Kelas Dunia dan Pemberi Pengobatan Gratis Seluruh dunia, resmi dinyatakan lulus sebagai mahasiswa Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (USU). Kabar baik ini disusul dengan pemberian beasiswa dari Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, yang juga merupakan ayah angkat Ja’far, untuk mendukung pendidikan dan risetnya.
Ja’far dikenal sebagai penemu Biofar SS, obat herbal yang telah diakui secara internasional dan dibagikan secara gratis kepada masyarakat tidak mampu di berbagai negara. Risetnya telah membawa nama Indonesia ke panggung sains dunia.
"Setiap malam saya tahajud, minta sama Allah agar dimudahkan bisa lanjut S2 di Fakultas Kesehatan. Saya ingin jadi ilmuwan yang bermanfaat. Alhamdulillah, setelah dinyatakan lulus, saya dapat kabar dari Bapak Kapolri, saya dibantu beasiswa," ujar Ja’far dalam keterangannya, Sabtu (17/8/2025).
Perjalanan Ja’far menuju dunia akademik dan penelitian tidak mudah. Ia pernah hidup dalam kemiskinan ekstrem dan harus menjual roti keliling dengan sepeda demi membiayai kuliahnya. Ia bahkan sempat tidur di emperan toko dan bertahan hidup dengan minum air putih karena tak punya uang untuk makan.
“Kadang makan sekali dua hari. Kadang cuma minum air putih untuk tahan lapar. Tapi saya yakin, Tuhan tidak tidur,” kenangnya.
Berkat ketekunan dan semangat pantang menyerah, Ja’far berhasil mengembangkan Biofar SS, terapi herbal untuk berbagai penyakit dalam dan luar. Riset tersebut kini terus dikembangkan melalui klinik Biofar SS di Simpang Empat Pasar Asri (Pajak Bengkok) , Jalan Cempaka Sari, Marindal Satu, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Namun meski dunia mengakui penemuannya, Ja’far tetap memilih jalan kerakyatan. Ia membuka klinik gratis bagi masyarakat tidak mampu mengobati baik ofline dan online.Klinik itu menjadi tempat ia membagikan obat hasil temuannya secara cuma-cuma. Tak ada biaya konsultasi, tak ada tarif pengobatan. Bagi Ja’far, ilmu bukan untuk dijual mahal, tapi untuk dibagikan. Sebab, “Ilmu yang tidak dibagikan adalah ilmu yang mati.”
Ia juga menyebut peran besar Kapolri yang telah memberikan bantuan berupa alat laboratorium dan bahan penelitian sebanyak empat kali. “Kalau bukan karena Pak Kapolri, mungkin saya sudah tidak bisa lanjut kuliah. Bahkan mungkin saya sudah berhenti jadi peneliti,” ucapnya.
Beasiswa dari Kapolri dinilainya sebagai bentuk kepercayaan negara terhadap anak bangsa yang berjuang dari bawah. Bagi Ja’far, hal itu menjadi amanah untuk terus berkarya dan berkontribusi kepada masyarakat melalui ilmu pengetahuan.
Tidak hanya untuk manusia, Ja’far juga tengah mengembangkan pengobatan herbal untuk hewan ternak di pelosok. “Ilmu yang tidak dibagikan, adalah ilmu yang mati. Saya ingin ilmu saya bermanfaat, bukan hanya untuk manusia, tapi juga bagi kehidupan,” katanya.
Ja’far momentum HUT ke-80 RI tahun 2025 juga terinspirasi oleh semangat Sumpah Pemuda dan sosok Presiden ke-3 RI, BJ Habibie. Ia bahkan telah diundang bertemu dengan Ilham Habibie, putra almarhum BJ Habibie, yang memuji prestasinya. “Kalau Pak Habibie berkarya di bidang teknologi pesawat, saya ingin meneruskan di bidang kesehatan,” ujarnya.
Namun kisah Ja’far bukanlah kisah sukses instan yang lahir dari kemudahan atau privilese. Ia pernah merasakan getirnya hidup yang tak semua orang sanggup menjalaninya. Sejak kecil, Ja’far harus bertahan dalam kemiskinan ekstrem. Ia hidup dengan serba kekurangan, bahkan harus membiayai sendiri sekolahnya sejak bangku dasar. Ketika melanjutkan kuliah, ia menjajakan roti keliling dengan sepeda usang. Kehidupan mahasiswa yang bagi sebagian orang diisi oleh buku dan kafe, bagi Ja’far justru diisi dengan berkeliling menjajakan dagangan dari gang ke gang. Suatu hari, dalam perjalanan menjajakan roti, ia ditabrak oleh orang mabuk. Sepeda ringsek, dagangan berserakan, tubuhnya luka. Tapi Ja’far tak menyerah. Ia memilih bangkit. Ia memilih tidur di emperan daripada berhenti kuliah
Ia berharap kisahnya menjadi semacam jalan penerang bagi pemuda-pemudi di pelosok Indonesia yang selama ini merasa tidak punya peluang. Ja’far ingin hadir sebagai bukti bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah. Ia pun menitipkan pesan yang selalu ia ulang kepada setiap anak muda yang ia temui: jangan takut miskin, tapi takutlah kalau berhenti berdoa dan berhenti mencoba.
Hari ini, Ja’far tak lagi menjual roti keliling. Tapi ia tetap berjalan kaki menjemput harapan, menyambangi pasien, menyusun bahan riset, dan terus bangun di sepertiga malam. Salat tahajud masih menjadi rutinitas yang ia jaga dengan ketat. Baginya, semua pencapaian ini bukan karena dirinya hebat. Ia yakin, doa-doa dalam sunyi itulah yang mengetuk pintu-pintu langit. Dan ketika satu pintu terbuka—seperti beasiswa dari Kapolri—itu adalah pertanda bahwa pengabdian harus terus diperpanjang.
Muhammad Ja’far Hasibuan kini melangkah dengan gelar magister di tangannya, tetapi ia tetap menjunjung tinggi kesederhanaan dan kebermanfaatan. Ia tidak mencari panggung, tetapi terus mencari jalan agar ilmu pengetahuan bisa hidup dalam kehidupan masyarakat. Dalam diamnya laboratorium dan sunyinya tahajud, Ja’far tengah merumuskan masa depan yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih penuh harapan—untuk Indonesia, dan untuk dunia
Kepada generasi muda, Ja’far berpesan agar tidak takut miskin, namun takut jika berhenti berdoa dan berhenti mencoba. “Salat tahajud saya setiap malam mungkin tidak langsung mengubah hidup saya. Tapi satu demi satu, pintu terbuka. Dan salah satunya adalah beasiswa dari Bapak Kapolri,” pungkasnya. ( y Mendrofa )